Minggu, 12 Mei 2019

Hadits


Description: http://uinsu.ac.id/iain_cpanel/ckfinder2/userfiles/images/logo-uinsu.jpgHadis-hadisBerdasarkanKuantitas,KualitasRawidanContohnya


Disusunoleh: kelompok 6
FATMALIZA HARAHAP                            : 0304183176
TRY AINI MUSDEWITA                : 0304182075
SISKA AYU NINGSIH SITORUS              : 0304183208
DosenPengampuh :
Dr. H. Muhammad Rozali, MA

PROGRAM STUDI BAHASA INGGRIS
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
MEDAN
2019

PEMBAGIAN HADIS
Kitab-kitab hadis yang beredar di tengah-tengah masyarakat dan dijadikan pegangan oleh umat Islam dalam hubungannya dengan hadis sebagai sumber ajaran islam adalah kitab-kitab yang disusun oleh para penyusunnya setelah Nabi SAW, wafat dalam jarak waktu antara kewafatan Nabi SAW dan penulisan kitab-kitab hadis tersebut telah tejadi berbagai hal yang dapat menjadikan riwayat hadis tersebut menyalahi apa yang sebenarnya beasal dari Nabi SAW. Baik dari aspek kemurniannya dan keasliannya.
Dengan demikian, untuk mengetahui apakah riwayat berbagai hadis yang tehimpun dalam kitab-kitab hadis tersebut dapat dijadikan sebagai hujah atau tidak, telebih dahulu perlu dilakukan penelitian. Kegiatan penelitian hadis tidak hanya ditunjukan kepada apayang menjadi matei berita dalam hadis itu, yang biasa dikenal dengan masalah matan hadis, tetapi juga kepada berbagai hal yang berhubungan dengan periwayatannya, dalam hal ini sanadnya, yakni rangkaian para periwayat yang menyampaikan matan hadis kepada kita.
Keberadaan perawi hadis sangat menentukan kualitas hadis, baik kualitas sanad maupun kualitan matan hadis. Selama riwayat-riwayat ini membutuhkan penelitian dan kajian mendalam untuk mengetahui mana yang dapat diterima da mana yang ditolak, maka mutlak diperlukan adanya kaidah-kaidah dan patokanssebagai acuan melakukan studi kritik hadis.
A.    Pembagian Hadis Berdasakan Kuantitas Rawi                                  
Kuantitas hadis disini yaiitu dari segi jumlah orang  yang meriwayatkan suatu hadis atau dari segi jumlah sanadnya. Jumhur ulama membagi hadis secara garis besar menjadi dua macam, yaitu hadis mutawi dan hadis ahad, disamping pembagian lain yang diikuti oleh sebagian para ulama, yaitu pembagianmenjadi dua macam yaitu:


1.                  Hadis Mutawatir
Pengertian Hadis Mutawatir
Mutawatir, menurut bahasa, adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ ( berturut-turut).Syarat-syarat Hadis Mutawatir.
Syarat hadis Mutawatir ini  adalah :
Pewartaan yang disampaikan oleh rawi-rawi tersebutharus berdasarkantanggapan pancaindra, yakni warta yang meeka sampaikan itu harus benar-benar hasil pendengaran atau penglihatan sendiri.Jumlah  rawinyaharus mencapai kuantitas tertentu sehingga  tidak mungkin mereka sepakat untuk berdusta. Adanya keseimbangan jumlah antara para perawinya dalam thabaqah pertama dengan jumlah rawi dalam thabaqah  berikutnya.
Klasifikasi Hadis Mutawir
Para ulamamembagi hadis Mutawir menjadi tiga yaitu :
Hadis Mutawir Lafzhi
Adalah hadis yang diriwayatkan oleh  banyak yang disusun redaksi dan maknanya sesuai benar antara riwayat satu dan lainnya.
Contoh hadis Mutawir Lafzhi adalah,:
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4). 
Menurut Abu Bakar Al-Bazzar, hadis tersebut diriwayatkan oleh 40 orang sahabat. Sebaian ulama mengatakan bahwa hadis tersebut diriwayatkan oleh 62 orang sahabat dengan lafazh dan makna yang sama. Hadis tersebut terdapat pada sepuluh kitab hadis, yaitu Al-Bukhari, Muslim, At-Thayasili, Abu Hanifah, Ath-Thabrani, dan Al-Hakim.
Hadis Mutawir Ma’nawi
Adalah hadis yang lafazh dan maknanya berlainan antara satu riwayat dan riwayat lainnya, tetapi terdapat persesuaian makna secara umum (kulli).Contoh hadis Mutawir Ma’nawi adalah:
كان النبي صلى الله عليه وسلم لا يرفع يديه في شيء من دعائه إلا في الاستسقاء ، وإنه يرفع حتى يرى بياض إبطيه
Biasanya Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam tidak mengangkat kedua tangannya ketika berdoa, kecuali ketika istisqa. Beliau mengangkat kedua tangannya hingga terlihat ketiaknya yang putih” (HR. Bukhari no.1031, Muslim no.895).
Hadis Mutawir ‘Amali
Adalah hadis yang menyangkut perbuatan Rasulullah SAW, yang disaksikan dan ditiru tanpa perbedaan oleh orang banyak, untuk kemudian dicontoh dan diperbuat tanpa perbedaan oleh orang banyak pada generasi-generasi berikutnya.Contoh hadis Mutawir ‘Amali yaitu:Kita melihat dimana saja bahwa salat Zuhur dilakukan dengan jumlah rakaat sebanyak 4 (empat) rakaat dan kita tahu bahwa hal itu adalah perbuatan yang diperintahkan oleh Islam dan kita mempunyai sangkaan kuat bahwa Nabi Muhammad SAW melakukannya atau memerintahkannya demikian.[1]
2.      Hadis Ahad
a.      Pengertian Hadis Ahad
Kata ahad adalah bahasa Arab yang berarti satu, maka pengertian hadis ahad adalah hadis yang disampaikan oleh satu periwayat hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir.
b. Pembagian Hadis Ahad
1. Hadis Masyhur
Menurut bahasa, masyhur adalah muntasyir, yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer. Contoh hadis Masyhur yaitu:

إِنَّاللَّهَلَايَقْبِضُالْعِلْمَانْتِزَاعًايَنْتَزِعُهُمِنْالْعِبَادِوَلَكِنْيَقْبِضُالْعِلْمَبِقَبْضِالْعُلَمَاءِحَتَّىإِذَالَمْيُبْقِعَالِمًااتَّخَذَالنَّاسُرُءُوسًاجُهَّالًافَسُئِلُوافَأَفْتَوْابِغَيْرِعِلْمٍفَضَلُّواوَأَضَلُّوا
“Sesungguhnya Allah tidaklah mencabut ilmu sekaligus mencabutnya dari hamba, akan tetapi Allah mencabut ilmu dengan cara mewafatkan para ulama hingga bila sudah tidak tersisa ulama maka manusia akan mengangkat pemimpin dari kalangan orang-orang bodoh, ketika mereka ditanya mereka berfatwa tanpa ilmu, mereka sesat dan menyesatkan”. (HR. Bukhari, Muslim, At-Thabrani, dan Ahmad dari empat orang sahabat).
b.      Hadis Aziz 
Hadits ‘Aziz itu ialah Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja, kemudian setelah itu, orang-orang pada meriwayatkannya.Menurut pengertian tersebut, yang dikatakan hadits ‘Aziz itu, bukan saja yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah terakhir harus terdiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh sebagian Muhadditsin, tetapi selagi pada salah satu thabaqahnya (lapisannya) saja, di dapati dua orang rawi, sudah bisa dikatakan hadits ‘Aziz.
Dengan demikian, hadits ‘Aziz itu dapat berpadu dengan hadits masyhur, seumpama ada dua hadits yang rawi-rawinya pada salah satu thabaqah terdiri dari dari dua orang, sedang pada thabaqah yang lain, terdiri dari rawi-rawi yang banyak jumlahnya.
c.       Hadits Gharib
Yang dimaksud Hadits Gharib ialah Hadits yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyindirian dalam sanad itu terjadi.Penyendirian rawi dalam meriwayatkan hadits itu, dapat mengenai personalianya, yakni tidak ada orang lain yang meriwayatkan selain rawi itu sendiri. Juga dapat mengenai sifat atau keadaan rawi tersebut. Artinya sifat atau keadaan rawi tersebut berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi lain yang juga meriwayatkan hadits tersebut.[2]
Pembagian Hadis Berdasarkan Kualitas Rawi
Sebagaimana yang telah dikemukakan bahwa hadis Mutawir membeikan pengertian yang yaqin bi al-qath, artinya Nabi Muhammad SAW, benar-benar besabda, berbuat atau menyatakan taqir dihadapan para sahabat berdasarkan sumber-sumbe yang banyak dan mustahil mereka sepakat berdusta kepada Nabi SAW. Karena kebenaran sumbernya sungguh telah meyakinkan, maka dia harus diterima dan diamalkan tanpa perlu diteliti lai, baik terhadap sanadnya maupun matannnya. Berbeda dengan hadis Ahad yang hanya memberikan faedah zhanni (dugaan yang kuat akan kebenaannya), menharuskan untuk mengadakan penyelidikan, baik terhadap matan maupun sanadnya, sehingga status hadis tersebut menjadi jelas, apakah diterima sebagai hujah atau ditolak.Sehubung degan itu, para ulama ahli hadis membagi hadis dilihat dari segi kualitasnya, menjadi tiga bagian, yaitu:[3]
Hadis Sahih
Sahih menurut bahasa berarti lawan sakit. Kata sahih jugak telah menjadi kosakata bahasa Indonesia dengan arti sah, benar, sempurna, sehat (tiada celahnya), pasti.[4]Sahih menurut lughat adalah lawan dari “saqim”, artinya sehat lawan sakit, haq lawan batil. Menurut ahli hadis, hadis sahih adalah hadis yang sanadnya bersambung, dikutip oleh orang yang adil lagi cermat dari orang yang sama, sampai berakhir pada Rasulullah SAW, atau sahabat atau tabiin, bukan hadis yang syadz (kontroversi) dan terkena ‘illat yang menyebabkan cacat dalam penerimaannya.Adapun contoh hadits yang shahih adalah sebagai berikut:
حَدَّثَنَاعَبْدُاللهِبْنُيُوْسُفَقَالَأَخْبَرَنَامَالِكٌعَنِابْنِشِهَابٍعَنْمُحَمَّدِبْنِجُبَيْرِبْنِمُطْعِمِعَنْأَبِيْهِقَالَسَمِعْتُرَسُوْلَاللهِص
.مقَرَأَفِيالْمَغْرِبِبِالطُّوْرِ “(رواهالبخاري)
“Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin yusuf ia berkata: telah mengkhabarkan kepada kami malik dari ibnu syihab dari Muhammad bin jubair bin math’ami dari ayahnya ia berkata: aku pernah mendengar rasulullah saw membaca dalam shalat maghrib surat at-thur” (HR. Bukhari, Kitab Adzan).[5]

Hadis Hasan
Hasan menurut bahasa berarti “sesuatu yang disenangi dan digandrungi nafsu”. Adapun definisi hasan menurut istilah, para ulama berbeda pendapat. Perbedaan pendapat terjadi disebabkan di antara mereka ada yang menggolongkan hadis hasan sebagai hadis yang menduduki posisi di antara hadis sahih dan hadis dha’if, tetapi ada juga yang memasukkannya sebagai bagian dari hadis dhaiif yang dapat dijadikan hujjah. Menurut sejarah, ulama yang mula-mula memunculkan istilah hasan menjadi hadis yang berdiri sendiri adalah Tirmidzi.
At-Tirmidzi mendefinisikan hadis hasan sebagai berikut:
Artinya: “Tiap-tiap hadis yang pada sanadnya tidak terdapat perawi yang tertuduh dusta, pada matannya tidak terdapat kejanggalan, dan hadis itu diriwayatkan tidaka hanya dengan satu jalan (mempunyai banyak jalan) yang sepadan dengannya.”
Definisi hadis hasan menurut At-Tirmidzi masih belum jelas karena mungkin hadis perawinya tidak tertuduh dusta dan matannya tidak terdapat kejanggalan disebut hadis sahih. Demikian pula, hadis gharib, sekalipun pada hakikatnya berstatus hasan, tidak dapat dimasukkan dalam definisi ini sebab dalam definisi tersebut disyaratkan tidak hanya melalui satu jalan periwayatan (mempunyai banyak periwayatan). Akan tetapi At-Tirmidzi yang mula-mula memunculkan istilah hadis hasan.
Ibnu Hajar Al-asqalani memberikan definisi sebagai berikut:
“Hadis yang diriwayatkan oleh perawi yang adil, kurang kuat hafalannya, bersambung sanadnya, tidak mengandung illat; dan tidak syadz (janggal).”
            Ibnu Hajar Al-asqalani tidak mengemukakan adanya kelemahan dalam sanad-sanadnya, tetapi adanya kekurangsempurnaan hafalannya. Definisi yang dikemukakan oleh Ibnu Hajar tampaknya lebih ketat dalam memberikan batasan tentang hadis hasan. Al-Asqalani tidak mengemukakan tambahan definisi tentang adanya sanad lain terhadap hadis yang diriwayatkannya sehingga untuk memasukkan hadis tersebut pada hadis hasan, ia tidak mensyaratkan adanya syahid atau mutthabi. Definisi itu sesuai dengan hadis hasan li dzatih                     
Dengan demikian hadis hasan hampir sama dengan hadis sahih, perbedaannya hanya pada ke-dhabit-an rawinya. Pada hadis sahih, ingatan atau daya hafalannya sempurna, sedangkan pada hadis hasan ingatan atau daya hafalannya kurang sempurna.
Contoh Hadis Hasan:
حَدَّ ثَنَا قُتَيْبَةُ  حَدَّ ثَنَا جَعْفَرُ بْنُ سُلَيْمَا نَ ا لضُّبَعِي عَنْ أَ بِيْ عِمْرَا نِ ا لْجَوْ نِي عَنْ أَ بِي بَكْرِ بْنِ  أبِي مُوْ سَي الْلأَ شْعَرِ يْ قَا لَ : سَمِعْتُ أَ بِي بِحَضْرَ ةِ ا لعَدُ وِّ يَقُوْ لُ : قَا لَ رَ سُوْ لُ ا للهِ ص م :  إِ نَّ أَ بْوَا بَ ا لْجَنَّةِ تَحْتَ ظِلاَ لِ ا لسُّيُوْ فِ .... ا لحد يث
“Telah menceritakan kepada kamu qutaibah, telah menceritakan kepada kamu ja’far bin sulaiman, dari abu imron al-jauni dari abu bakar bin abi musa al-Asy’ari ia berkata: aku mendengar ayahku berkata ketika musuh datang : Rasulullah Saw bersabda : sesungguhnya pintu-pintu syurga dibawah bayangan pedang…” (HR. At-Tirmidzi, Bab Abwabu Fadhailil jihadi).
Kehujjahan Hadis Sahih Dan Hadis Hasan
            Para ulama sependapat bahwa seluruh hadis sahih, baik sahih li dzatih maupun hadis li ghairih dapat dijadikan hujjah.Merekan pun sependapat bahwa hadis hadis, baik hasan li dzatih maupun hasin li ghairih dapat dijadikan hujjah.Akan tetapi, mereka berbeda pandangan dalam penempatan rutbah yang disebabkan oleh kualitasnya masing-masing.Ada ulama yang membedakan kualitas kehujjahan, baik antara sahih li dzatih dengan li ghairih dan hasan li dzatih dengan hasan lighairih, maupun antara hadis sahih dan hadis hasan.Namun, adapula ulama yang mencoba memasukkan hadis-hadis dalam satu kelompok tanpa membedakan kualitas antara satu dengan yang lainnya, yakni dalam kelompok hadis sahih. Pendapat ini antara lain dianut oleh Al-Hakim, Ibnu Hibban, dan Ibnu Huzaimah.
            Para ulama yang berusaha membedakan kehujjahan hadis berdasarkan perbedaan kualitas, sebagaimana dianut oleh kelompok pertama, mereka lebih jauh membedakan rutbah hadis-hadis tersebut berdasarkan kualitas para perawinya, yaitu sebagai berikut:
1.      Mereka menempatkan hadis-hadis riwayat mutafaq alaih (hadis yang disepakati Bukhari dan Muslim).
2.      Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari.
3.      Hadis-hadis yang diriwayatkan oleh Muslim.
4.      Hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari dan Muslim (Shahih ‘ala Syart Al-Bukhari wa Muslim)
5.      Hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Bukhari (Shahih ‘ala Syart Al-Bukhari) sedang ia tidak meriwayatkannya.
6.      Hadis-hadis yang diriwayatkan menurut syarat-syarat Muslim (Shahih ‘ala Syart Muslim) dan ia tidak meriwayatkannya.
7.      Hadis-hadis yang diriwayatkan tidak berdasarkan salah satu syarat dari Bukhari atau Muslim.
Penempatan hadis-hadis tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas akan tampak kegunaanya ketika terlihat adanya pertentangan (ta’arud) antara dua hadis. Hadis-hadis yang menempati urutan pertama di nilai lebih kuat daripada hadis-hadis pada urutan kedua atau ketiga, begitu juga hadis-hadis pada urutan ketiga di nilai lebih kuat daripada hadis-hadis pada urutan keempat atau kelima.
Penempatan hadis-hadis tersebut berdasarkan urutan-urutan di atas akan tampak kegunaanya ketika terlihat adanya pertentangan (ta’arud) antara dua hadis. Hadis-hadis yang menempati urutan pertama di nilai lebih kuat daripada hadis-hadis pada urutan kedua atau ketiga, begitu juga hadis-hadis pada urutan ketiga di nilai lebih kuat daripada hadis-hadis pada urutan keempat atau kelima.
Hadis Dhaif
Dhaif menurut bahasa berarti lemah, lawan kata dari kuat.Istilah hadis dhaif berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat.Contoh hadis Dhaif:
1.Tuntutlah Duniamu
تَمُوْتُخَدً۱كَأَنَّكَلِآخِرَتِكَوَاعْمَلْ,أَبَدًاتَعِيْشُكَأَنَّكَلِدُنْيَاكَاِعْمَلْ
“Beramallah untuk duniamu seakan-akan engkau hidup akan selamanya, dan beramallah untuk akhiratmu seakan-akan engkau akan mati besok”.
Ini bukanlah sabda Nabi Rasulullaah Shallallaahu ‘alaihi wa sallaam, walaupun masyhur di lisan kebanyakan mubaligh di zaman ini.Mereka menyangka bahwa ini adalah sabda beliau.Sangkaan seperti ini tidaklah muncul dari mereka, kecuali karena kebodohan mereka tentang hadits.Di samping itu, mereka hanya “mencuri dengar” dari kebanyakan manusia, tanpa melihat sisi keabsahannya.
Hadits ini diriwayatkan dua sahabat.Namun, kedua hadits tersebut lemah karena di dalamnya terdapat inqitho’ (keterputusan) antara rawi dari sahabat dengan sahabat Abdullah bin Amer. Satunya lagi, cuma disebutkan oleh Al-Qurthubiy, tanpa sanad.Oleh karena itu, Syaikh Al-Albaniy men-dhoif-kan (melemahkan) hadits ini dalam Silsilah Al-Ahadits Adh-Dho’ifah (No. 8).[6]






KESIMPULAN
Hadis yang berdasarkan kuantitas rawi, Hadis mutawatir dan hadis ahad.Hadis yang berdasarkan kualitas rawi,  Hadis sahih, hadis hasan, dan hadis dhaif.Hadis Mutawatir, menurut bahasa adalah isim fa’il musytaq dari At-tawatur artinya At-tatabu’ (berturut-turut).
Derajatsuatuhaditsitumemilikibeberapakemungkinan, bisasajakitakatakanshahih, hasan, ataupundhaifitutergantungkepada 2 halyaitukeadaansanadnyadankeadaanperawinya. Akan tetapiolehparaulamatelahdiberikankemudahanbagiparapenelitihaditsuntukmengetahuiderajathaditstersebutdalamkitab-kitabhaditsseperti yang paling terkenaladalahkitab “tahzibulkamal fi asmaailrijal” yang menerangkantentangkeadaanperawinya, apakahdiaitupendusta, bid’ah, fasiqdan yang lainnya. Akan tetapisemuaulamatelahsepakattentangkeshahihanhadits yang dikeluarkanoleh Imam Bukharidan Imam Muslim sehinggakitatidakperlulagiuntukmenelitiataskedaansanaddanperawinyaakantetapi yang mestiingathadits-haditsselaindari imam bukharidan imam muslimmestikitatelaahkembaliakankeshahihannya.
Pembagian hadis ahad ada 3, yaitu :
1.      Hadis masyhur menurut bahasa, muntasyir yaitu sesuatu yang sudah tersebar, sudah populer.
2.      Hadis ‘aziz adalah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang walaupun dua orang rawinya terdapat satu thaqabah saja, kemudia setelah itu orang-orang meriwayatkannya.
3.      Hadis gharib adalah hadis yang dalam sanadnya terdapat seorang yang menyendiri dalam meriwayatkan, dimana saja penyindiran dalam sanad itu terjadi.
Hadis hasan, menurut bahasa berarti sesuatu yang disenangi dan digandrungi nafsu”.Hadis dhaif, menurut bahasa berarti lemah, lawan kata dari kuat. Istilah hadis dhaif berarti hadis yang lemah atau hadis yang tidak kuat. 

DAFTAR PUSTAKA
Drs.M.Solahudin, M. Ag,  Agus Suyadi, Lc., M. Ag. 2008. Ulumul Hadis. Bandung: Pustaka Setia.
Mustofa Hasan, M.Ag. 2012. Ilmu Hadis. Bandung : Pustaka Setia.
Dr. H. M. Rozali, MA. 2019. Pengantar Kuliah Ilmu Hadis. Medan :  Manhaji.




[1]M. Agus Solahudin, Ulumul Hadis, hlm. 129-132.
[2] M. Agus Solahudin, ulumul Hadis, hlm. 133-138.
[3] M. Rozali, Ilmu Hadis, hlm. 31.
[4] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, hlm. 219.
[5] M. Agus Solahudin, ulumul hadis, hlm. 141-142.
[6] Mustofa Hasan, Ilmu Hadis, hlm. 226-232.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar